Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengurai Polemik Jalur Sepeda



Oleh : 
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

JAKARTA — Pro kontra itu hal biasa. Dalam banyak hal, diskusi diperlukan. Berbagai masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak harus dianggap penting. Terutama dari mereka yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Beberapa hari lalu, jalur sepeda di jalan Soedirman-Thamrin yang panjangnya 11,2 KM itu sempat disinggung dalam rapat komisi III di DPR. Ahmad Sahroni, salah satu wakil ketua Komisi III di DPR minta Kapolri mengevaluasi, bila perlu membongkar jalur itu (16/6). Alasannya: ada diskriminasi.

Publik kaget. Kok langsung main bongkar. Padahal, jalur sepeda sudah digunakan, dan selama ini relatif tidak ada masalah. Apalagi, urusan jalur sepeda bukan masuk wilayah garapan komisi III.

Namanya juga usulan. Meski berasal dari komisi yang tidak membidangi perhubungan, ada baiknya tetap didengar. Setidaknya, ada kepedulian dan niat baik. Berpikir positif seperti ini yang harus terus ditumbuhkan.

Kapolri Jend Listyo Sigit Prabowo sangat bijak. Didengar dan dicatat semua masukan itu, dan tentu akan diteruskan untuk menjadi pembahasan dengan Gubernur DKI, Anies Baswedan. 

Yang seringkali terlupa bahwa setiap keputusan dan kebijakan, tentu didahului dengan kajian. Dengar pendapat dengan berbagai pihak yang kompeten. Terkait jalan raya, Polri adalah mitra yang punya cukup data, pengalaman dan ketepatan dalan perhitungan.

Kolaborasi dengan pihak institusi perhubungan dan kepolisian merupakan kebutuhan niscaya sebelum keputusan membangun jalur sepeda dilakukan. Hasil kajian ini perlu dibuka oleh Gubernur Anies Baswedan untuk memberi penjelasan detilnya. Sehingga bisa menjadi bahan diskusi dan evaluasi. 

Setidaknya, ada beberapa manfaat mengapa jalur sepeda di Jakarta dibangun. Terutama untuk jangka panjang. 

Pertama, mengurangi tingkat kemacetan. Selain MRT/LRT, sistem ganjil genap, dan perluasan jalur trotoar untuk pejalan kaki,  jalur sepeda diharapkan juga ikut mengurangi tingkat kemacetan di ibu kota.

Memang, tidak drastis untuk satu-dua tahun. Butuh waktu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mau mengubah pola bertransportasi. Ketika jalan kaki dan bersepeda terasa nyaman dan mulai banyak yang memanfaatkan, maka ke depan akan mendorong semakin banyak orang melakukannya. Disini perlu terobosan-terobosan kreatif agar semakin banyak yang menggunakan jalur sepeda sebagai pilihan transportasi.

Fakta bahwa kemacetan di Jakarta turun. Tentu, semua kebijakan terkait transportasi mempunyai kontribusinya, meskipun tidak sama ukurannya.

Tahun 2017, tingkat kemacetan Jakarta di urutan ke-4 (61%) dari 164 negara. Tahun 2018 di urutan ke-7 (53%). Tahun 2019 di urutan ke-10 (53%). Dan tahun 2020 di urutan ke-31 (36%). Ada penurunan yang konsisten dan signifikan. Atas penurunan ini Anies mendapat julukan sebagai pahlawan transportasi (21Heroes2021) dari Transformative Urban Mobility Inisiative (TUMI) 

Kedua, sepeda itu alat transportasi yang ramah lingkungan. Semakin banyak yang menggunakan transportasi umum dan bersepeda, polusi udara Jakarta otomatis berangsur-angsur akan turun.

Selain memperbanyak RPTRA (296 lokasi) sebagai taman kota dan penghijauan, serta rencana membangun sejumlah waduk, ikhtiar merubah pola bertransportasi dari kendaraan mesin ke sepeda diharapkan dapat mengurangi tingkat pencemaran udara Jakarta.

Hasil survei: usia warga Jakarta rata-rata lebih pendek dari warga Bandung dan Jogja. Dua faktor utamanya adalah stres (diantaranya karena macet) dan polusi udara. Dua hal inilah yang berupaya diatasi oleh Gubernur Anies. 

Gagasan Gubernur DKI di forum "Dialogue beetween  C40 mayors and UN Secretary General" tanggal 16 April lalu tentang pentingnya mengurangi emisi carbon diantaranya dengan strategi transportasi telah mendapatkan apresiasi positif dari Sekjen PBB. Menurut Anies, gagasan ini sudah dijalankan secara konsisten di Jakarta. 

Belakangan ini, kualitas udara di Jakarta makin bagus. Dari laporan Air Visual, Air Quality Index (AQI) di Jakarta semula sebesar 155, turun 144,3, turun jadi 96, turun lagi jadi 60, dan turun lagi sebesar 57 dengan 15 ug/m3. Ini tergolong moderat. Sehat kalau 10 ug/m3. Mesti serius ditargetkan. 

Di berbagai kota besar di Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea, jalur sepeda sudah lama dibangun. Untuk sampai pada kesadaran masyarakat, memang butuh waktu. Ini proyek jangka panjang. 

Jalur sepeda di kota-kota besar itu tidak pernah dianggap sebagai kebijakan diskriminatif. Justru sebaliknya, jalur sepeda memberi ruang kepada mereka yang peduli dan sadar akan kebutuhan  terhadap udara bersih dan sehat.

Coba bayangkan, jika satu juta warga Jakarta memilih transportasi sepeda, tentu ini akan membuat udara Jakarta semakin bersih, segar dan sehat. 

Baik sekiranya satu gerbong setiap kereta disiapkan khusus untuk sepeda. Ini sebagai contoh saja. Sehingga, para pekerja yang berasal dari sekitar wilayah Cibubur, Bekasi, Bogor, Tangerang, yang naik KRL/MRT/LRT, bisa menggunakan sepeda sebagai pilihan alat transportasi mereka. 

Dari rumah naik sepeda, lalu sepedanya masuk gerbong khusus, turun di Cawang, Sudirman, Thamrin, Kuningan, Tanah Abang, Senen, Tebet, Manggarai, mereka naik sepeda lagi ke kantor. Lebih ekonomis, sehat, dan ramah lingkungan. Diperlukan terobosan yang kreatif dan masif. **

Post a Comment for "Mengurai Polemik Jalur Sepeda"