Hariring Peuting, antara hedonis dan merusak peradaban
Oleh. : Agus M Yasin
Sejarah menorehkan, Purwakarta lahir dan terbentuk oleh pemimpin yang menjunjung tinggi nilai nilai Islam. Kita mengenal Dalem Santri adalah Bupati Karawang periode 1820–1827 yang berkedudukan di Wanayasa, nama aslinya Raden Adipati Surianata dan mendapat julukan Dalem Santri karena terbilang getol beribadah serta mengedepankan nilai Islami.
Lalu Dalem Shalawat Bupati Karawang periode 1828-1849, yang nama aslinya Raden Adipati Suryawinata adik Raden Adipati Suryanata, yang memindahkan ibukota dari Wanayasa ke Sindangkasih. Di masa beliau lah tercetus nama Purwakarta.
Dengan julukan julukan seperti itu menegaskan, bahwa Purwakarta sejak dulu dipimpin oleh para tokoh yang religius.
Dan selanjutnya pasca Purwakarta menjadi Kabupaten tersendiri, tepatnya masa kepemimpinan Drs. H. Sudarna TM, SH Bupati Purwakarta periode 1983-1993. Beliau mempermaklumkan kepada umum, Purwakarta sebagai Kota Tasbeh.
Hal itu sangat beralasan. Selain bentuk penghormatan kepada para pendiri Purwakarta di masa lalu, juga memperhatikan kuktur masyarakat yang sejak dulu lekat dengan peradaban Islam.
Terkait dengan hal itu, serta realitas selama ini. Dimana Purwakarta seolah tengah diracuni penipisan moral oleh sosok yang kerap mengedepankan budaya melalui bentuk yang terkesan sepele, namun jika dicermati secara tidak langsung akan menjangkitkan wabah. Dekadensi akhlaq adalah penyakitnya.
Bagaimana tidak ?
Di tengah suasana Ramadhan, yakni bulan yang penuh berkah, serta sebagai momen yang kerap dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ada suatu kegiatan yang digagas oleh pihak tertentu, sebuah hiburan yang cenderung lebih mencerminkan hedonisme ketimbang nilai nilai religisnya. Ditambah ada perilaku perilaku yang tidak patut, jika dimaknai dengan nilai sakral malam disaat bulan Ramadhan.
Semua memahami, bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk saling peduli satu sama lain, juga mengajarkan untuk disiplin terhadap waktu. Sehingga tak sedikit waktu pun terbuang untuk hal-hal yang tidak baik dan merugikan Amalan bulan Ramadhan tak terbatas hanya dilakukan pada siang hari saat berpuasa, tapi juga dapat dilakukan malam hari ketika sudah berbuka.
Maka, apabila malam di bulan Ramadhan itu sebagian orang i'tikaf di Masjid Masjid serta bertadarus. Lantas di suatu panggung sekelompok orang dikomandoi figure terhormat begitu riuhnya bernyanyi, malah duselingi canda dan tindakan yang melanggar syariat Islam. Ini sebuah sebuah suguhan dan pertanda apa ?
Sungguh sangat disayangkan, dan lebih disayangkan ada diantaranya oknum pejabat dan pemimpin Desa seolah larut dengan acara itu. Tanpa disadari nakna dari perbuatannya, jika disandingan dengan adab di bulan puasa.
Intinya, "Hariring Peuting Ramadhan" adalah kegiatan yang sarat kepentingan politik, baik pribadinya maupun kepentingan lain untuk tujuan tertentu.
Tegasnya, jika dimaknai secara radikal. Kegiatan tersebut adalah suatu perwujudan sikap, antara hedonis dan merusak peradaban.
Penulis adalah pengamat kebijakan publik tinggal di Purwakarta.
Post a Comment for "Hariring Peuting, antara hedonis dan merusak peradaban"